For the Love of Books

Musik

Musik dan Formasi Kelas Menengah Ngehe

OLEH M. RIZKY SASONO
Musisi, mahasiswa doktoral etnomusikologi di University of Pittsburgh

Dalam sebuah telisik tentang kelas menengah Indonesia, Howard Dick meninggalkan definisi usang yang intinya membedakan mereka dengan tuan tanah dan petani. Ia juga menampik rumusan kelas sosial oleh Karl Marx yang hanya mengenal kaum borjuis dan proletar.

Kelas menengah juga bukan kelompok di antara mereka yang punya kuasa serta kekayaan dan mereka yang tidak. Mereka punya edukasi, punya sedikit kekayaan, serta kuasa apapun yang bisa mengalahkan kaum para aristokrat.
Read More…

Maju Musiknya, Bahagia Warganya: Kronika Musik Kota Malang

ritmekota
“Dengan fasilitas serta teknologi yang hadir saat ini, sudah semestinya para pelaku musik di kota Malang lebih pintar dan mampu memanfaatkannya dengan baik. Bukan sebaliknya, justru dibuat terlena atau mengikuti arus pasar...” tegas Radinang Hilman dalam tulisannya yang berjudul “Geliat Rock Alternatif Kota Malang dalam Tiga Babak”.

Di tulisan itu ia bercerita panjang soal kancah musik alternative rock di Malang sejak era akhir ‘90-an sampai gelombang kibatan gitar indie rock di dekade 2000-an. Dari kiprah band-band seperti Hectic, The Morning After, sampai Beeswax. Cukup panjang, runut dan cermat. Dihimpun dari hasil dari observasi, wawancara, serta riset yang tajam pada setumpuk arsip zine dan media alternatif.

Naskah tersebut adalah salah satu bagian dari buku Ritmekota: Kumpulan Tulisan Musik dari Kota Malang yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra (2019). Ritmekota adalah buku antologi yang merekam aneka kisah dari ekosistem musik di Malang. Berisi kumpulan naskah dari dua belas penulis yang berperan sebagai saksi, penggali fakta, dan juga pencerita. Read More…

Dari Mana Datangnya Musik Dunia Ketiga?

OLEH TAUFIQ RAHMAN
Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, founder Elevation Records


| |

Awal tahun ini, saat coronavirus sedang berkecamuk di Wuhan dan mungkin sudah mendarat di Amerika Serikat, saya sempat mampir beberapa hari di Pittsburgh (sebelum terbang pulang selama 26 jam ke Jakarta dengan singgah di Hong Kong!). Tidak ada agenda atau niatan khusus; hanya mengunjungi seorang teman sambil mengikuti sejenak kelas tentang Led Zeppelin dari seorang etnomusikolog pemerhati dangdut, mengunjungi museum Andy Warhol, wira-wiri ke toko buku dan record store yang mudah ditemukan di setiap sudut jalan. Namun karena cuaca yang sedang dingin, meski tidak terlalu dingin, lebih banyak waktu justru dihabiskan untuk membaca buku sambil mendengarkan piringan hitam dari peralatan ala kadarnya.

Dari beberapa buku yang sempat habis terbaca ada satu yang meninggalkan kesan begitu mandalam. Buku ini, yang ditulis oleh professor Studi Amerika dari Universitas Yale Michael Denning, menawarkan cara pandang yang unik tentang proliferasi musik-musik klangenan dunia ketiga; genre-genre seperti keroncong, tarab, tango, samba dan musik Hawaiian. Di buku dengan judul yang begitu bergelora; Noise Uprising: The Audiopolitics of a World Musical Revolution, Michael Denning, seorang peneliti studi Amerika justru berbalik arah 180 derajat dan berusaha mencari menawarkan cara pandang lain tentang formasi genre-genre musik yang berkecambah di kota-kota “Pelabuhan” besar dunia ketiga. Denning menolak conventional wisdom bahwa ekspresi bermusik yang muncul di tempat-tempat ini merupakan hasil revolusi musik yang memancar dari pusat (core) yang menggerus pinggiran (periphery). Read More…