How Are You Book Stores?
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Jurnal Banda: Dokumentasi Tanah Pala
Blogger Bandung
Waktu kecil, saya cukup akrab dengan buah pala. Memiliki banyak sanak famili yang bermukim di Aceh, keluarga saya yang tinggal di Padang sering mendapat kiriman atau buah tangan berupa manisan pala, biji pala dengan cangkang masih berselaput fuli maupun yang sudah dikeluarkan dari cangkang.
Saya suka harum buah pala dan rasa segar mengejutkan manisan daging buahnya. Pala, dalam persepsi saya pada masa itu, adalah buah khas dari Aceh. Read More…
In Memoriam Hikmat Budiman
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Redupnya Reason dan Ketertinggalan Negeri-Negeri Muslim
Direktur Eksekutif CSIS
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam International Indonesia
philips.vermonte@jalankaji.net

Buku karya Mustafa Akyol ini thought-provoking. Ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang juga telah lama ditanyakan banyak orang, baik secara diam-diam atau terbuka: mengapa reason lama redup dan menghilang dari negeri-negeri berpenduduk Muslim?
Akyol dengan terampil menyelidiki sumber-sumber kekuatan reason dari sejarah dan teks Islam sendiri dan kemudian menguliti sebab kenapa masa gemilang dimana pengetahuan menjadi penopang masa-masa keemasan itu turun drastis hingga kemudian didominasi oleh fideism hingga hari ini.
Paling tidak ada tiga jawaban saling terkait yang ditawarkan oleh Akyol untuk pertanyaan tersebut. Read More…
Tips for Lending A Book
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
George Orwell's Doublethink
Books Hierarchy
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Tea in the Sahara
Judging A Book by Its Cover
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
The Meursault Investigation Menggugat Albert Camus
Guru sejarah, penulis lepas
Siapa pun yang sudah membaca The Stranger karya Albert Camus, semestinya harus membaca juga The Meursault Investigation karya Kamel Daoud. Ingat penutup bagian pertama—yang juga paling banyak dipuji—dari novel singkat karya Camus tersebut?
Tepatnya saat Mersault, dengan sikap nihilis dan segala ketidakacuhannya pada dunia, menembaki seorang Arab di pantai bahkan setelah si Orang Arab itu tergeletak tidak berdaya. Ya, buku ini adalah jawaban dari tragedi tersebut. Read More…
[Books] To Travel With
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Kafka Di Tengah Badai
Blogger Bandung, Instagram @yuliani.liputo
Setelah membaca beberapa novel Murakami, saya bisa mengatakan saya lebih tertarik pada ekspresi artistiknya, metafora segar, makna tersembunyi, dan dialog-dialog cerdasnya daripada plot cerita, drama dan romansanya.
Dunia surrealisme yang digambarkan Murakami tentu saja masih menarik, penuh kejutan. Realisme magisnya selalu berhasil membuat kita terlontar ke dunia lain, terbawa ke dalam imajinasi yang lepas.
Tokoh-tokohnya mengalami banyak penderitaan, kesepian, petualangan seks, krisis, dan kebahagiaan. Namun beberapa hal terasa mengulang dari novel ke novel, Murakami terasa mendaur ulang beberapa trik bercerita dalam novelnya. Read More…
Smith's Interpretation of Albert Camus' Novel, The Stranger
Mozaik Islam Indonesia di Timur
Peneliti Gerakan Islam di Universitas Islam Negeri Mataram;
Pengajar Departemen Sosiologi, Universitas Nasional
Wajah Islam di Indonesia ditandai dengan keberagaman praktik. Corak Islam di belahan barat Indonesia dalam aspek-aspek tertentu relatif sama dengan belahan timur Indonesia, tetapi banyak hal menunjukkan ciri-ciri partikularitas.
Perbedaan ini dipengaruhi konteks lokalitas berupa faktor kesejarahan, budaya, dan sifat hubungan sosial antara komunitas Muslim dengan komunitas lain dalam lingkup pergaulan sosio-kultural dan politik.
Pertumbuhan, perkembangan, dan dinamika Islam di berbagai daerah di Indonesia berlangsung dalam suatu kancah di mana aktor dan institusi dakwah berperan memainkan agensi dan otoritasnya, lalu menghasilkan identitas dan corak tertentu pada masyarakat Muslim.
Dewasa ini, praktik dan identitas Islam di Indonesia Timur tumbuh dari bawah (bottom up) bersahutan dengan munculnya otoritas agama yang dinamis, terutama dari kalangan pedagang-perantau Bugis-Makassar.
Dengan agensi yang tinggi, mereka datang untuk berdagang, merantau di suatu daerah, lalu bermukim dan membentuk komunalisme bagi pertumbuhan dan perkembangan praktik Islam.
Dari sinilah terbentuk identitas dan masyarakat Muslim di Indonesia bagian timur dengan tradisi Islam yang kaya serta beragam. Read More…
Kompilasi Komik Mas Seno Gumira Ajidarma
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
David Bowie: When I'm Relaxed
A Life Beyond Boundaries: Keluar dari Perangkap Tempurung ala Anderson
Kuala Lumpur, Pekerja Analis Digital Accenture Malaysia | Editor Jalankaji
puri.kp@jalankaji.net
Buat anak anak jebolan kampus ilmu sosial dan politik, membaca publikasi Benedict Richard O’Gorman Anderson atau yang populer dikenal sebagai Ben Anderson adalah sebuah kewajiban. Kewajiban ini tentu saja didorong dari upaya untuk mendongkrak kemampuan dan pengenalan yang lebih baik tentang Indonesia kepada para mahasiswanya. Tentu saja kewajiban ini sedikit banyak memberikan rasa keterpaksaan. Tapi tidak untuk karya-karya Ben Anderson. Awalnya saya lumayan degdegan saat awal membaca buku Ben Anderson dengan jumlah halaman tebal. Tapi lama-lama saya memiliki pikiran kompetitif – mengapa orang asing (bule, sebagaimana Ben Anderson mengidentifikasikan dirinya) jauh mengenal Indonesia lebih baik luar dalam ketimbang kita orang Indonesia sendiri? Pikiran kompetitif ini semakin kuat ketika saya mengkhatamkan karya Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983); salah satu buku babon sejarah politik Indonesia, yang mengedepankan kajian tentang konsep negara bangsa dengan studi kasus Indonesia. Read More…
Diskusi Buku: Patah Hati Jadi Royalti
Jasa Bundel Majalah
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Musik dan Formasi Kelas Menengah Ngehe
Musisi, mahasiswa doktoral etnomusikologi di University of Pittsburgh
Dalam sebuah telisik tentang kelas menengah Indonesia, Howard Dick meninggalkan definisi usang yang intinya membedakan mereka dengan tuan tanah dan petani. Ia juga menampik rumusan kelas sosial oleh Karl Marx yang hanya mengenal kaum borjuis dan proletar.
Kelas menengah juga bukan kelompok di antara mereka yang punya kuasa serta kekayaan dan mereka yang tidak. Mereka punya edukasi, punya sedikit kekayaan, serta kuasa apapun yang bisa mengalahkan kaum para aristokrat.
Read More…
Kartini Menulis, Kartini Membaca
Pernah Begini Kah?
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Habibie: Bukuku Istanaku
Fave Storybook Recipe
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Pesan Untuk Ekonom, Dari Banerjee dan Duflo
Kutipan di atas berasal dari buku karya Banerjee dan Duflo yang mencoba menjelaskan berbagai persoalan besar seperti globalisasi, imigrasi, perubahan iklim dan kemajuan teknologi.
Di tahun 2019, Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer menerima penghargaan Nobel Prize in Economics Sciences atas pendekatan eksperimental mereka dalam mengurangi kemiskinan global.
Duflo sendiri merupakan perempuan kedua dan yang termuda yang pernah menerima penghargaan ini. Sudah barang pasti namanya saya masukkan dalam daftar panutan untuk #WomeninEconomics.
Salah satu kutipan Duflo yang paling saya senangi ketika diwawancarai terkait penghargaan ini adalah “we need to show younger people that economics is relevant to problems that they care about”. Well, mungkin Duflo sudah sering menerima keluhan mahasiswanya tentang apa makna dari beragam model matematika ekonomi dan berbagai statistik yang mereka temui di ruang kelas? Dan bagaimana itu bisa membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari? Read More…
Bung Hatta dan Buku
Bahasa Visual Orhan Pamuk
Blogger Bandung, Instagram @yuliani.liputo
seorang pelukis gagal, tapi sang pelukis tak pernah mati di dalam diriku."~Orhan Pamuk
Pada akhir Oktober 2019 di Sharjah, UAE, saya sempat mengikuti acara talk show yang menghadirkan Orhan Pamuk di panggung Sharjah International Book Fair. Dia berbicara tentang apa alasannya menulis dan kebebasan berekspresi di Turki.
Di akhir acara, antrean panjang hadirin menunggu giliran untuk mendapatkan tanda tangan di buku-buku karya Pamuk yang sengaja mereka bawa. Orhan Pamuk tampak santai, dia bersedia melayani pembicaraan dan permintaan berfoto dengan ramah. Malam itu saya membangun kesan bahwa Orhan Pamuk adalah seorang penulis sukses yang tak berjarak dengan pembacanya. Seorang sastrawan kelas dunia yang tidak rumit dan pongah. Saya mulai mengumpulkan dan membaca karya-karya Pamuk sejak itu. Read More…
Posisi Baca
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Hidup Gelap Tanpa Buku
Menyoal Ulid Tak Ingin Ke Malaysia
PhD fellow, Department of Human Geography, University of Amsterdam
Saya, untuk terlebih dahulu mengantisipasi pertanyaan atau gugatan yang bakal datang terhadap tulisan ini, bukanlah seorang kritikus sastra. Saya juga bukan seorang sastrawan. Ya, beberapa kali saya memang menulis esai tentang sastra, tetapi sampai saat ini saya merasa bahwa karya-karya itu belumlah cukup untuk menjadi modal buat disematkannya gelar kritikus sastra kepada saya. Demikian juga soal sastrawan. Saya memang menulis cerpen, tetapi lagi-lagi rasanya itu juga belum dapat membantu saya hingga saya menjadi pede dan menyebut diri sebagai sastrawan. Karena itu saya memilih posisi yang paling aman sajalah: pembaca. Ya, saya seorang pembaca.
Dalam perjalanan membaca kritik sastra di Indonesia, saya pernah menjumpai dua buah ide tentang sastra Indonesia yang sampai sekarang cukup merasuk dalam ingatan saya yaitu: 1) sebuah pendapat yang menyatakan bahwa novel-novel di Indonesia belakangan ini sangat jarang yang memiliki latar belakang pedesaan. Kalau tidak salah ingat saya membaca pendapat seperti ini dari salah satu wawancara dengan novelis Ahmad Tohari di salah satu majalah yang celakanya saya juga sudah lupa namanya;
dan 2) Saut Situmorang dalam esainya yang fenomenal berjudul "Politik Kanonisasi Sastra" (2007) menyampaikan salah satu permasalahan di dalam kesusastraan Indonesia adalah dominasi “sastra wangi.”
Selain dua poin di atas yang saya dapatkan dari orang lain, saya juga punya pendapat sendiri yaitu: 3) dalam pengalaman saya membaca novel-novel karya penulis kita (Indonesia) saya merasa kadang-kadang ada banyak kebolongan logika di dalamnya, sebuah hal yang akan saya coba jelaskan nantinya.
Ketiga permasalahan sastra tersebut, sependek yang dapat saya pikirkan, dijawab oleh sebuah novel berjudul Ulid Tak Ingin Ke Malaysia (UTIM) karya Mahfud Ikhwan (2009).
Read More…
Buku Ketiga Dibawa ke Mars
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Pendidikan Untuk Mencipta Manusia Kreatif dan Otonom
Dosen STF Driyarkara Jakarta
Pendidikan nasional sudah seharusnya tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dan hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, maka bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa.
Seorang aktivis dan cendekiawan Muslim, Yudi Latif, baru baru ini meluncurkan buku terbarunya berjudul "Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif". Buku ini menguraikan perspektif bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Karenanya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri. Yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Read More…
Buku Kedua Dibawa ke Mars
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Dari Krisis ke Krisis: Membandingkan Indonesia, Burma, dan Thailand
Direktur Eksekutif Migrant CARE, pernah sebentar belajar perbandingan politik di UI
Pertikaian politik kembali menyeruak ketika kalangan militer Myanmar meragukan keabsahan Pemilu Myanmar yang menghasilkan kemenangan mutlak partai pimpinan Aung San Suu Kyi (National League of Democracy/NLD) dan menyingkirkan partai-partai bentukan militer. Keraguan militer dilancarkan dalam statemen pimpinannya yang menuntut adanya penyelidikan atas kecurangan politik.
Pertikaian ini kemudian mengarah pada krisis politik yang akhirnya berujung pada kudeta yang dilancarkan militer Myanmar ditandai dengan penangkapan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin sipil lainnya. Langkah itu diambil tepat pada tanggal 1 Februari 2021, saat dimana seharusnya para anggota parlemen terpilih pada Pemilu November 2020 memulai kerja legislasinya.
Sembari menyiapkan langkah-langkah solidaritas menyikapi tindakan anti demokrasi di Myanmar bersama para pembela hak asasi manusia dan demokrasi di Asia Tenggara, saya kembali mencari buku lawas karya Priyambudi Sulistiyanto ini dari rak buku perpustakaan.
Sebelumnya, pada bulan September-Oktober 2020, saya juga membaca lembar-lembar buku ini terutama di bagian Thailand ketika terjadi krisis politik di Thailand. Ribuan kaum muda turun ke jalan menentang dominasi militer dan melabrak tabu monarki. Tuntutan demokrasi dan menolak dominasi militer tentu hal yang wajar karena Thailand juga beberapa kali diguncang kudeta militer. Namun keberanian kaum muda melabrak tabu monarki ini hal yang baru. Fenomena inilah yang perlu dilihat kembali dari bagian pembahasan tentang Thailand dalam buku ini. Read More…
Penasaran Baca Buku
Laurie Garrett, Ebola dan Pulitzer
Pensiunan wartawan Harian Kompas (1981-2013)
Motaba. Anda tak dapat melihatnya. Tapi Anda dapat mati karenanya. Dan amat cepat. Karena Motaba adalah virus paling mematikan yang pernah dikenal oleh sains. Jauh lebih ganas ketimbang virus Ebola yang menimbulkan kematian akut dalam seminggu dan tahun lalu menimbulkan wabah di Zaire, apalagi virus HIV penyebab AIDS kronis tapi kini menjadi momok dunia.
Laboratorium USAMRIID (United States Army Medical Research Institute of Infectious Diseases) di Frederick, Maryland, meneliti HIV-1 di lab dengan tingkat bahaya penyakit menular kedua atau biosafety level-2 (BL-2), HIV-2 di BL-3, sedang virus Ebola di BL-4, tingkat yang paling tinggi. Tak mengherankan jika kepanikan terjadi ketika tahun lalu diketahui bahwa virus Motaba menjalar dari pedalaman Zaire di Afrika ke Cedar Creek, sebuah kota kecil di California. Kota itu nyaris dimusnahkan dengan bom agar virus Motaba tidak menjalar ke seluruh Amerika.
Read More…
Tiga Buku Dibawa Ke Mars
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary
tita.larasati@jalankaji.net
Memahami Mosaik Intoleransi Kontemporer di Indonesia
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Semenjak istilah conservative turn dipopulerkan oleh van Bruinessen pada tahun 2013, isu intoleransi di Indonesia telah menjadi fokus besar dari banyak studi. Berbagai penulis telah mencoba untuk meneliti beragam dimensi intoleransi –– baik dari tren tindakan intoleransi (Wahid Foundation, 2016), proses penetapan peraturan daerah syariah yang intoleran (Pisani and Buehler, 2016), respon aparat pemerintah terhadap tindakan intoleran (Fauzi dan Panggabean, 2015), maupun dinamika interaksi antara struktur politik negara dengan tindakan intoleran (Ahnaf et. al., 2015).
Namun terlepas dari kayanya studi-studi ini, sesungguhnya belum ada konsensus konkrit terkait sebab peningkatan intoleransi di Indonesia. Bahkan, merespon serangkaian demonstrasi Aksi Bela Islam (ABI) pada akhir tahun 2016, berbagai pemerhati masih memperdebatkan apakah demonstrasi tersebut merupakan manifestasi meningkatnya intoleransi di Indonesia.
Saat Assyaukanie (2017) melihat fenomena tersebut sebagai tip-of-the-iceberg peningkatan konservatisme masyarakat Indonesia, studi Meitzner dan Muhtadi (2018) justru menemukan sikap konservatif masyarakat Indonesia menurun sebelum terjadinya rangkaian demonstrasi tersebut.
Para penulis buku Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia memiliki proposisi yang berbeda dalam diskusi ini –– bahwa sesungguhnya karakteristik intoleransi di Indonesia tidaklah monolitik dan terlalu kompleks untuk disimpulkan secara nasional. Read More…
Books Open Your Mind
Sebab Utama Kemunduran Negara-Negara Muslim
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta.
Pencarian tentang sebab-sebab kemunduran kaum Muslim adalah tema klasik yang sudah dilontarkan para intelektual dan sarjana sejak akhir abad ke-19. Shakib Arslan (1869-1946) barangkali adalah intelektual pertama yang melempar isu menggugah ini, dalam sebuah bukunya yang terkenal: Limadza ta'akkhara al-muslimun wa limadza taqaddama ghayruhum? (Kenapa kaum Muslim terbelakang dan bangsa-bangsa lainnya maju?).
Arslan, seorang pendukung Pan-Islamisme dan pengagum Jamaluddin al-Afghani dan Abduh, mencoba bicara jujur tetang kemurungan kaumnya. Hampir seluruh tanah Muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Eropa. Dari Maroko hingga Aceh, tak ada negara Muslim yang bebas dari cengkeraman kolonialisme.
Arslan heran, kenapa bangsa yang kitab sucinya meneguhkan "sebaik-baik bangsa yang dihadiahkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat linnas), berada dalam kegelapan, keterbelakangan, miskin dan jorok? Mengapa kaum Muslim yang pada suatu masa pernah menjalani kejayaan kini mengalami keterpurukan yang luar biasa? Read More…
Menikmati Tragedi Melalui Stand-Up Comedy
Seorang guru sejarah; penulis lepas
Bacaan mengajarkan saya bahwa orang Israel juga punya keresahan yang sama seperti kita: keresahan dalam menjalani hidup normal. Setidaknya begitulah yang saya simpulkan setelah membaca Etgar Keret dan Amos Oz. Keret resah dengan kekerasan dan Oz resah dengan kerusakan. Kendati pandangan politik Keret dan Oz bisa dibilang berseberangan, idealisme mereka untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina sama. Demikian juga dengan penulis Israel lain: David Grossman.
David Grossman adalah penulis Israel ketiga yang saya baca. Dia punya riwayat kelam dengan perang. Pada 2006, Uri, putra bungsunya yang juga seorang komandan tank dalam Perang Lebanon, tewas di usia 20 meski baru dua hari menjadi tentara. Grossman menulis buku Falling Out of Time untuk mengenang Uri. Pada 2010, Grossman dihajar oleh polisi Israel saat berpartisipasi dalam demonstrasi menentang pembangunan Pemukiman Israel di wilayah Palestina.
Saat ditanya wartawan The Guardian mengapa seorang penulis masyhur sepertinya bisa diserang oleh polisi, Grossman cuma menjawab, “Aku tidak tahu apakah polisi itu mengenalku.” Begitulah Grossman. Tetap kritis terhadap kebijakan Israel meski dia sendiri adalah bagian dari negara itu.
Read More…
Books Are A Lot Like Food
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary.
Sherpa Hebat Bernama Tenzing
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri Jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net
Sejak tahun 1865, nama yang digunakan untuk menyebut puncak tertinggi di dunia adalah Puncak Everest, yang diambil dari nama seorang geographer berkebangsaan Inggris Sir George Everest. Penggunaan nama seorang saintis ini sedikit banyak menunjukkan bahwa bagi orang Barat, daerah yang jauh adalah daerah eksotik dan harus ditaklukan. Sebagaimana sejarah panjang rasionalisme Barat yang menghidupkan sains dalam rangka menaklukan alam raya.
Sir George Everest mungkin belum pernah sampai ke kaki gunung ini. Adalah Andrew Scott Waugh, seorang geographer yang merupakan murid Sir George Everest, yang memulai observasi pertama terhadap gunung ini dan menemukan cara untuk menduga ketinggiannya. Ia kemudian bisa menyimpulkan bahwa puncak gunung ini, yang hingga waktu itu hanya disebut sebagai Puncak XV, adalah puncak gunung tertinggi di dunia. Pada Maret 1856, ia mengusulkan kepada Royal Geographical Society agar puncak itu diberi nama Puncak Everest karena dua alasan. Pertama adalah untuk menghormati gurunya itu; kedua karena ia tidak bisa menemukan nama lokal bagi puncak tersebut.
Tentu saja alasan kedua adalah buah dari penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa. Ada banyak nama yang diberikan oleh penduduk lokal yang tinggal di daerah-daerah yang mengelilingi rantai pegunungan Himalaya ini. Mereka mengenalnya dengan banyak nama lain, di antaranya adalah Chomolungma, nama yang dikenal oleh Tenzing Norgay, seorang sherpa hebat yang bersama Edmund Hillary menjadi orang-orang pertama yang mencapai Puncak Everest pada 29 Mei 1953.
Read More…
Subuh: Bukan Sekedar Fiksi
Penulis; konsultan strategi perawatan mesin
Bicara soal Turki akan terasa membosankan ketika orang-orang hanya sibuk bicara tentang keindahan dan romantisme Selat Bosporus. Apalagi kalau semua berbicara dengan pilihan diksi yang sama: sunset. Dalam sekejap semua orang akan menjadi pujangga; puisi dan syair akan tercipta ketika melihat panorama matahari tenggelam di Selat yang memisahkan Turki bagian Eropa dan bagian Asia tersebut.
Seorang teman berkelakar, tidak ada hal yang buruk di Turki, katanya. Semuanya indah. Bahkan penjual es krim gerobakan pun memiliki wajah yang rupawan, tak ubahnya pemain sinetron yang sering kita jumpai di layar kaca.
Sebaliknya, Turki jadi terasa begitu getir di buku kumpulan cerita Subuh karya Selahattin Demirtas ini. Seher adalah bahasa Turki untuk kata Subuh. Ketika ditanya perihal pemilihan nama tersebut, Demirtas bilang, "Subuh menandai momen pertama munculnya cahaya dari kegelapan. Kegelapan mengira dirinya abadi, dan persis saat ia percaya dirinya telah mengalahkan terang, subuh memberinya pukulan pertama." Read More…
Books Are Windows And Mirrors
Freelance illustrator, tinggal di Bali demi keluarga
Maju Musiknya, Bahagia Warganya: Kronika Musik Kota Malang
Di tulisan itu ia bercerita panjang soal kancah musik alternative rock di Malang sejak era akhir ‘90-an sampai gelombang kibatan gitar indie rock di dekade 2000-an. Dari kiprah band-band seperti Hectic, The Morning After, sampai Beeswax. Cukup panjang, runut dan cermat. Dihimpun dari hasil dari observasi, wawancara, serta riset yang tajam pada setumpuk arsip zine dan media alternatif.
Naskah tersebut adalah salah satu bagian dari buku Ritmekota: Kumpulan Tulisan Musik dari Kota Malang yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra (2019). Ritmekota adalah buku antologi yang merekam aneka kisah dari ekosistem musik di Malang. Berisi kumpulan naskah dari dua belas penulis yang berperan sebagai saksi, penggali fakta, dan juga pencerita. Read More…
Perbincangan di JalanKaji.Net
Perbincangan Bersama
Dea Anugrah
"Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya"
Dea Anugrah tak cuma menulis cerita dan puisi. Ia pun menghasilkan nonfiksi. Seperti karya fiksinya, banyak esai dan reportase lulusan Filsafat UGM ini juga sukses bikin iri.
Yuk ikuti perbincangan dengannya:
Selasa 19 Januari 2021 | Pukul 19.00 WIB
Zoom: bit.ly/35xV6my
Persembahan JalanKaji.NET
Murakami dan Persimpangan-Persimpangannya
Kandidat Ph.D bidang Ilmu Ekonomi di University of California, Davis.
Inilah buku dengan kehangatan yang mudah dikenali. Kehangatan yang amat khas Murakami: alurnya, deskripsinya akan setiap kejadian, rasa, pengalaman, latar belakangnya, juga karakter-karakternya. Saya bukan bermaksud mengatakan bahwa ini karya yang biasa-biasa saja, justru saya mencoba mengatakan kepada mereka yang memiliki ekspektasi atas sensasi dari membaca Murakami bahwa ini adalah buku yang tepat.
Buku ini juga akan terasa dekat bagi siapa pun yang, seperti Tsukuru tokoh utamanya, memiliki ketertarikan khusus pada stasiun. Mungkin juga ia menarik untuk yang pembaca yang suka dengan magisnya bandara. Tenggelam dalam buku ini di masa pandemi, yang sudah membuat saya harus menunda beberapa rencana perjalanan, mungkin justru membantu saya untuk tersentuh dengan minat Tsukuru akan stasiun, dan mungkin ruang persimpangan lainnya. Read More…
Mengenal Kretek Lebih Dalam
Editor jalankaji.net
nuran.wibisono@jalankaji.net
Sudah berpuluh tahun berlangsung perang antara industri rokok dan industri farmasi. Belum ada tanda-tanda perang ini akan berakhir.
Pada 1998, Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont menulis artikel berjudul “Lies, Damned Lies, & 400.000 Smoking-Relating Deaths” di jurnal Regulation (terbitan The Cato Institute). Levy adalah seorang praktisi hukum dan ekonom serta anggota dari lembaga think tank The Cato Institute. Sebermula dari artikel Levy dan Marimont (1998) itu perang antara industri rokok dan industri farmasi semakin sengit. Ada banyak buku dari kedua belah pihak yang membeberkan data dari berbagai penelitian. Pertikaian ini menghasilkan dua kubu: pendukung rokok dan kubu anti rokok.
Di antara perang yang sengit dan riuh itu, muncul sebuah buku yang melihat rokok dalam perspektif menarik, yaitu sejarah kebudayaan. Judulnya: Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (selanjutnya disebut Kretek). Penulisnya adalah Mark Hanusz, pria berkebangsaan Swiss, yang juga pendiri dari penerbitan buku kelas premium, Equinox Publishing. Buku ini berhasil menyajikan sebuah gambaran utuh mengenai kretek, budaya Nusantara yang sudah lama ada sebelum gaduh perang industri rokok melawan industri farmasi. Read More…
Sejarah Intelektual, Membaca Ignas Kleden
Peneliti independen
Ignas Kleden adalah seorang sosiolog yang sejak sangat muda terdidik dalam filsafat. Sosiologinya karena itu bukanlah yang berurusan dengan penelitian empiris tapi dengan dunia pemikiran yang hampir selalu filosofis. Sosiologi dan filsafatnya bukan sebagai vokasi (keahlian) tetapi sebagai alatnya untuk memahami sejarah pemikiran yang berkembang di dunia dan bangsanya.
Melihat riwayat pendidikan formal Ignas, kecuali S3-nya, selalu filsafat. Yang pertama di STF/TK (Sekolah Tinggi Filsafat/Teologi Katolik) Ledalero, sebuah lembaga untuk mendidik para calon imam Katolik yang letaknya tidak jauh dari tempat kelahirannya, Waibalun, sebuah desa di pinggir laut yang terletak di jalan raya antara Larantuka dan Maumere, Flores. Setelah pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai editor di Yayasan Obor dan Prisma, di samping sebagai kolumnis yang produktif, kemudian melanjutkan studi filsafatnya (S2) di Muenchen dan sosiologi (S3) di Bielefeld, keduanya di Jerman, sebuah negeri dimana filsafat mungkin berkembang paling subur setelah sebelumnya benih filsafat tumbuh di Yunani. Read More…
Cinta-Cinta Yang Kandas
Editor dan penulis, tinggal di Bandung
Blog: halamanganjil.blogspot.com
Men Without Women adalah kumpulan cerpen karya Haruki Murakami, penulis kontemporer Jepang yang paling dielu-elukan, setidaknya selama dua dekade terakhir ini. Aslinya rilis tahun 2014, buku ini terbit edisi bahasa Inggrisnya tiga tahun kemudian. Berisi tujuh cerita dengan tebal 228 halaman menunjukkan bahwa kumpulan cerpen di buku ini berjenis 'long short-story', jenis bacaan yang menawarkan kompleksitas lebih dibandingkan cerpen biasa.
Pada dasarnya semua cerpen di buku ini mengungkapkan cerita-cerita cinta yang ambyar. Hanya saja Murakami menuturkannya dengan memukau, meliuk-liuk, dan tidak cengeng. Mungkin cinta — bercampur dengan rasa sayang dan nafsu — bukan sesuatu yang sederhana, karena melibatkan pergolakan psikologi dalam diri karakter karakternya. Read More…
Achmad Mochtar Sang Perintis Penelitian Biomedis Nusantara
Alumnus Fakultas Kedokteran, Mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)
Banyak ilmuwan biomedis, dokter, dan tenaga kesehatan Indonesia kini tengah berjibaku menghadapi COVID-19, termasuk mengupayakan penemuan vaksin untuk mengatasi pandemi ini atau penemuan metode agar kepatuhan terhadap protokol kesehatan semakin meningkat. Tak banyak di antara ilmuwan dan profesional kesehatan itu yang masih mengenal sebuah nama besar, Professor Achmad Mochtar, seorang perintis penelitian biomedis di Nusantara. Mochtar, ilmuwan dan dokter dengan reputasi dunia, direktur pertama berkebangsaan Indonesia di Lembaga Eijkman (lembaga penelitian biologi yang didirikan di Batavia pada masa pemerintahan kolonial Belanda), yang nasibnya tragis.
Read More…
Antara Konservatisme dan Beragama à la Bandit Saints
Pemimpin Redaksi the Jakarta Post; editor jalankaji.net
taufiq.rahman@jalankaji.net
Sudah banyak pihak yang menyalakan tanda bahaya tentang “Islamist turn”, bahwa Indonesia kini sudah menjadi tempat yang konservatif, puritan dan tempat yang tidak ramah bagi kalangan minoritas. Apalagi jika Anda membaca pemberitaan media massa atau doomscrolling di media sosial, di mana kolom berita dan linimasa penuh riuh rendah kemarahan dan keputusasaan soal merajalelanya tindakan intoleransi, penutupan tempat ibadah agama minoritas dan pelarangan hal-hal yang berwarna tradisi atau yang terlalu Barat.
Obsesi pemerintah dan masyarakat terhadap Front Pembela Islam (FPI) beberapa bulan ini bisa menjadi semacam indikasi bagi adanya kekhawatiran soal meluasnya pengaruh Islam yang puritan, Islam “Timur Tengah,” atau gerakan Islam konservatif yang bisa menisbikan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Read More…
Hal-Hal Mendasar Dalam Menjaga Demokrasi
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Pada medio 1980an–1990an, literatur politik perbandingan di negara-negara berkembang dipenuhi dengan tema-tema politik yang bersifat transisional. Muncul istilah-istilah beken seperti transisi demokrasi, ‘gelombang ketiga’ demokratisasi, dan konsolidasi demokrasi. Istilah ini pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa telah terjadi pergesaran sistem politik yang cukup berarti dari negara-negara berkembang menuju model yang lebih terbuka dan kompetitif. Buku yang banyak jadi rujukan misalnya yang ditulis Juan Linz dan Alfred Stepan: Problems of democratic transition and consolidation (1996). Keduanya berbicara soal proses transisi yang terjadi di negara-negara di Eropa Selatan, Eropa Timur, dan Amerika Selatan. Read More…
Mematahkan Mitos Pribumi Malas
Bekerja di Accenture Kuala Lumpur; editor jalankaji
puri.kp@jalankaji.net
| |
Februari 2020, sepekan setelah saya menetap di Kuala Lumpur, saya bertanya kepada salah satu teman asli kota ini, “What is the best book that I can read to understand better this country?” Dengan mantap ia menjawab, “You should read the book of Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native. The book is old, yet still important to be highlighted until now.” Ia berusaha meyakinkan saya untuk membaca buku itu, karena the Myth akan membawa banyak pemahaman penting tentang persepsi bangsa non Asia – semenjak masa kolonial hingga sekarang, khususnya mengapa cap pemalas selalu diberikan sebagai karakteristik tiga ras serumpun: Melayu, Jawa, dan Filipina – yang sebenarnya amat bisa dipatahkan, dan yang terpenting – mengapa sulit bagi Malaysia untuk membangun identitas ke-Malaysiaan-nya.
The Myth of the Lazy Native terhitung buku langka dan sulit ditemukan di toko buku utama di Malaysia. Tapi seperti laiknya benda-benda lama yang kembali populer sekarang, saya kembali menemukannya di sebuah toko buku indie di Kuala Lumpur.
Pada 12 babnya, Syed Hussein Alatas memberikan kritik meluas terkait konstruksi dan praktik kolonial kepada suku Melayu, Jawa, dan Filipina. Kritik utamanya diberikan kepada bentuk kapitalisme kolonial yang coba dirancang dan dibangun serta realitanya diberikan kepada wilayah jajahan mereka. Tentu saja, dengan intensi agar kepentingan kolonial dalam roda-roda kapitalisme terus bertahan, dan relasi kuasa antara penjajah dan jajahannya langgeng. Read More…
Anugerah Membaca Cerita Dea
Editor jalankaji.net
yus.ariyanto@jalankaji.net
Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.
Redaksi Jalankaji.net
| |
Pernah dengar nama Georg Eberherd Rumpf? Ia lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Kepada ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik. Tapi ia tak mengikuti jejak sebagai insinyur sipil. Rumpf melanglang buana. Sampai akhirnya menetap di Maluku.
Bosan jadi serdadu, Rumpf alias Rumphius terpikat untuk mempelajari alam tropis. Rumpf kelak dikenal sebagai pakar botani masyhur yang menulis D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705) dan Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741).
Jauh sebelumnya, pada 1670, Rumpf buta karena glukoma. “Tanpa penglihatan, Rumphius mengandalkan indra-indranya yang lain buat memahami dan menggambarkan temuannya. Ia menyentuh, mencecap, dan menghidu aroma spesimen-spesimennya dengan perhatian lebih, dan upaya itu melengkapi ingatannya yang kuat atas warna dan keterampilannya menciptakan perumpamaan visual,” tulis Dea Anugerah dalam esai Orang Buta Berpandangan Jauh. Read More…
Dari Balik Layar: Obama sang Presiden
Pendiri Sasmita Research and Creative Lab, Jogjakarta; editor jalankaji.net.
gde.dwitya@jalankaji.net
Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.
Redaksi Jalankaji.net
| |
Di penghujung tahun 2016, saya sempat menghadiri sebuah weekend party di rumah profesor saya. Satu topik yang muncul di perbincangan malam itu adalah soal Barack Obama yang menjelang turun dari jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat. “He disappointed many of his supporters,” begitu kira-kira penilaian sang profesor. Saat itu Obama memang mengecewakan sebagian pendukungnya. Ia yang diharapkan melanjutkan aspirasi gerakan akar rumput untuk menghentikan kegiatan perang dan invasi Amerika di luar negeri tampak melempem begitu masuk Gedung Putih.
Buku memoar Obama ini, A Promised Land, mengobati rasa ingin tahu saya tentang apa yang terjadi di balik layar. Obama, sang politisi penjaja harapan, ternyata punya banyak keterbatasan. Karir politiknya yang cemerlang, ternyata tidaklah terberi. Ada kebetulan-kebetulan—semisal kesempatan untuk maju menjadi senator dari Illinois—dan ada keberanian mengambil kesempatan yang hanya datang sekali seumur hidup.
Dari memoar ini kita jadi tahu Obama benar-benar mulai dari nol ketika terjun ke politik praktis. Ia belajar sambil jalan. Read More…
Berburu Makanan Jepang Yang Otentik
Editor jalankaji.net
nuran.wibisono@jalankaji.net
Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.
Redaksi Jalankaji.net
| |
Ada banyak buku menarik yang saya baca tahun ini baik buku terbitan 2020 (This Album Could Be Your Life terbitan Elevation Books, atau Babat Alas Dangdut Anyar bikinan Michael H.B Raditya, misalkan) ataupun yang sudah terbit bertahun, bahkan berdekade, lampau. Di kategori ini, membaca ulang buku Balada Si Roy —untuk memperingati pembuatan filmnya— masih memberikan api yang sama seperti ketika membacanya beberapa belas tahun lalu.
Namun dari buku kategori lama yang saya baca tahun ini, tak ada yang mengalahkan kesenangan saya ketika membaca Sushi & Beyond: What Japanese Know About Cooking yang ditulis Michael Booth dan diterbitkan pada 2009. Ini buku yang saya beli sewaktu residensi setahun silam. Saya sempat skimming buku ini jelang pulang, Desember 2019 hingga awal Januari 2020. Saya baru membaca secara “serius” buku ini sekitar bulan April-Mei 2020, ketika kejenuhan di rumah mencapai titik kulminasi dan butuh bacaan yang menghibur.
Buku ini mengisahkan Booth, penulis Inggris, yang pergi ke Jepang dengan motivasi mencari makanan Jepang otentik karena gojekan dengan karibnya, Katsotoshi Kondo, pria campuran Jepang dan Korea, yang (dalam derajat tertentu memang sangat diperlukan) amat memuja makanan Jepang dan meremehkan kuliner Eropa.
Suatu hari, Toshi memberi buku Japanese Cooking: A Simple Art (Shizuo Toji, 1979) pada Booth. Buku itu, ujar penulis kuliner Ruth Reichl, bukan sekadar buku masak, melainkan “sebuah risalah filsafat (tentang masakan Jepang).” Read More…