For the Love of Books

Anugerah Membaca Cerita Dea

OLEH YUS ARIYANTO
Editor jalankaji.net
yus.ariyanto@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net

| |
deaanugrah
Pernah dengar nama Georg Eberherd Rumpf? Ia lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Kepada ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik. Tapi ia tak mengikuti jejak sebagai insinyur sipil. Rumpf melanglang buana. Sampai akhirnya menetap di Maluku.

Bosan jadi serdadu, Rumpf alias Rumphius terpikat untuk mempelajari alam tropis. Rumpf kelak dikenal sebagai pakar botani masyhur yang menulis D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705) dan Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741).

Jauh sebelumnya, pada 1670, Rumpf buta karena glukoma. “Tanpa penglihatan, Rumphius mengandalkan indra-indranya yang lain buat memahami dan menggambarkan temuannya. Ia menyentuh, mencecap, dan menghidu aroma spesimen-spesimennya dengan perhatian lebih, dan upaya itu melengkapi ingatannya yang kuat atas warna dan keterampilannya menciptakan perumpamaan visual,” tulis Dea Anugerah dalam esai Orang Buta Berpandangan Jauh.

Empat tahun sejak kebutaan datang, istri dan putri Rumpf tewas karena gempa besar. Tragedi ini tak juga meremukkannya. Ia melanjutkan penelitian. Tiga belas kemudian, api memusnahkan rumah, termasuk perpustakaan, Rumpf. Yang selamat hanya naskah Herbarium Amboinense. Tetap tak surut, ia mengerjakan ulang naskahnya.

Rumphius merupakan salah satu sosok yang dipaparkan Dea dalam Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya. Di luar itu, kita diajak bertemu tokoh-tokoh kondang seperti Clint Eastwood atau Ernest Hemingway. Dibujuk pula menyimak kisah mereka yang jauh dari terkenal, tapi menarik, seperti mantan tahanan politik Rosidi atau penulis cum penerjemah Nurul Hanafi.

Membaca hikayat Eastwood, kita bisa sedikit tenang: menjadi tua tak identik dengan nestapa. Lihat, sampai usia 30-an, ia adalah aktor kelas dua di Hollywood. Makin ke sini, makin moncer. Sejumlah penghargaan Oscar mampir ke tangannya. Eastwood adalah salah seorang dari segelintir sutradara istimewa, kutip Dea dari Clint Eastwood's America karya Sam B. Girgus, yang membikin para penonton berpikir.

Beberapa paragraf dibentangkan secara atraktif sebagai pengantar. Pada akhirnya, Dea menyusun daftar sejumlah film Eastwood yang disebut sebagai “pengantar buat mengenal dunia sinematik” pria yang pernah jadi simbol machoisme itu.

Kita, eh saya, tercenung: anak Bangka ini “berbahaya” lantaran punya kejelian sudut pandang (angle) dan membekali diri dengan riset yang serius. Pada urusan penulisan, Dea punya keterampilan bertutur dan kekayaan diksi.

Satu lagi senjata Dea: humor getir. Mau contoh? “Demi masa, sesungguhnya tak ada kewajiban pada siapa pun untuk meniru Amien Rais atau Taufiq Ismail. Dunia ini cukup
luas
untuk menampung orang-orang tua yang gembira dan menggembirakan,” tulis lulusan Filsafat UGM itu pada bagian awal tulisannya tentang Eastwood.

Saya menikmati kumpulan karya nonfiksi (esai dan feature) Dea yang sebagian besar telah terbit sebagai produk jurnalistik di Tirto.id pada 2016-2018 tersebut. Di tengah luberan berita yang mengandalkan kecepatan dan sensasi, banyak karya di Tirto.id yang mengusung kedalaman, dikemas layaknya dongeng yang memikat. Tak terkecuali tulisan-tulisan Dea. Ya, sedikit menambal lubang besar dalam praktik jurnalisme kita dewasa ini.

"seperti dimaklumatkan Franz Kafka, buku harus menjadi kapak es yang memecahkan lautan beku dalam diri kita."


Dalam sebuah wawancara, Dea mengatakan, pada 2016-2018, hampir 200 tulisannya muncul di Tirto.id. Namun hanya 20 tulisan yang dicemplungkan ke bunga rampai ini. Hal yang bikin saya penasaran: antologi ini nihil penjelasan soal proses kreatif. Misalnya, apakah semua tema tulisan berasal dari dirinya? Atau sebagian muncul dari kolega di rapat redaksi?

Perihal tema, Dea tak melulu mengisahkan “tokoh.” Ia juga menulis tentang “pokok.” Misalnya, soal industri pisang, pemusnahan buku, konflik Israel-Palestina, atau perseteruan antar penulis. Untuk tema terakhir, hadir esai “Di Mana Ada Penulis, di Situ Ada Cemooh.” Dea menjejerkan cemooh William Faulkner pada Ernest Hemingway, Mark Twain yang mengejek Jane Austen, dan cerita-cerita serupa di Eropa atau Amerika Utara. Pun mengungkap ulang cibiran cerpenis Idrus untuk Pramoedya Ananta Toer.

“Cemooh antar penulis, terutama di dunia berbahasa Inggris, lumrah diklipingkan sebagai dokumen kebudayaan yang penting. Di dalamnya kerap terkandung rekaman pertentangan ideologi, estetika, dan lain-lain. Dan yang nilainya tak kalah besar, saling cemooh adalah pertunjukan keterampilan mengolah kata-kata,” tulis Dea yang kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong, menjadi salah satu Buku Indonesia Terbaik 2016 versi majalah Rolling Stone Indonesia itu.

Pria kelahiran 1991 ini juga meriwayatkan, ehm, soal masturbasi. Ini contoh lain dari kejelian memilih sudut pandang yang saya sebut di atas. Ia menjelajahi tema yang jarang diulik di luar rubrik kesehatan ini, mendedahkan kembali aneka pendapat yang kontra maupun yang pro. Dari kalangan yang kontra, salah satunya, Dea mengutip Bapak Pandu Sedunia, Robert Baden Powell, tentang cara terbaik mencegah masturbasi: merendamnya di air sedingin es setiap pagi.

O iya, ini buku terbitan 2019. Namun saya baru menyentuhnya pada awal tahun yang begitu mencemaskan dan menggamangkan ini. Sekarang Dea sudah tak bekerja di Tirto.id, pindah ke Asumsi.co. Di sana, ia juga jadi host untuk program video “Distrik.”

Kunjungi cerita-cerita Dea. Insya Allah Anda mendapat anugerah, seperti saya, berupa pengetahuan baru atau perspektif segar atau hal lain. Karena, seperti dimaklumatkan Franz Kafka, buku harus menjadi kapak es yang memecahkan lautan beku dalam diri kita.
Info Buku:


Judul: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu Yang Kita Punya
Penulis: Dea Anugrah
Penerbit: Buku Mojok, 2019
Tebal : 181 halaman
ISBN: 978-602-1318-81-2